Sunday 4 August 2013

Lebaran Ke Tujuh

Langit masih gelap. Adzan Subuh belum berkumandang ketika aku bangun. Suasana hiruk pikuk sudah terasa di dalam rumah sederhana kami. Ibu sedang menyiapkan baju lebaran pesanan orang. "Tinggal ngesum," ujar Ibu sambil terus menisikkan jarum ke tepi kain.

Bapak sedang mandi. Dua adikku sudah bangun dan bergurau di kamar. Suara takbir bergema dari masjid di dekat rumah.

Aku bergegas melanjutkan pekerjaan, tak mau tertinggal sholat Ied. Setelah rumah rapi dan wangi khas obat pel, aku menata kue di meja ruang tamu. Tak banyak. Hanya sekaleng biskuit yang merknya populer di hari raya, setoples kue kering mawar yang memesan di saudara, setoples kacang bawang dan satu wadah plastik permen berbagai rasa.

Dua botol sirup rasa melon dan stroberi di meja makan adalah minuman paling istimewa kami hari ini. Tak lupa aku menyiapkan gelas bersih satu nampan penuh. Biar mudah jika ada tamu yang datang nanti.

Lalu satu per satu dari kami mandi. Bapak paling cepat berangkat sholat. Dengan bermotor, beliau pergi ke Masjid Sabilillah, selepas sholat Subuh. Sementara kami, meski sudah bersiap diri cukup lama, hanya bisa berangkat menjelang sholat Ied diadakan.

Dan kami pun sholat Ied dengan hati riang.

Pulangnya, sengaja kami tak menyalami orang lain. Kata ustadz, orang pertama yang harus dimintai maaf adalah orang tua kami. Tentu kami menyimpan tangan rapat-rapat dan berlari pulang menemui orangtua.

Sesampai di rumah, kami mendatangi Bapak di kamar. Meminta maaf dengan mencium tangan beliau. Hanya itu, tak ada ritual sungkeman. Lalu Bapak mengelus rambut dan ubun-ubun kami, dengan mengucap, "Bapak juga minta maaf. Sebagai orangtua pasti banyak salah yang sudah Bapak buat. Maafkan Bapak. Jadi anak sholeh/sholehah, ya."

Lantas Bapak memberi uang lebaran dari saku baju koko beliau. Kami tertawa riang saat keluar dari kamar beliau dan menemui Ibu.

Biasanya Ibu dalam keadaan duduk saat kami meminta maaf pada beliau. Sama, tak ada sungkeman. Hanya salim dan mengucap minta maaf dengan tulus. Lalu Ibu melakukan hal yang sama seperti yang Bapak lakukan.

Selanjutnya, kami sekeluarga berkeliling. Di kantong kami sudah ada dompet yang siap diisi dengan uang lebaran.

Ah, senangnya...

Tapi itu dulu. Saat saya masih kecil hingga masa kuliah. Sebelum saya memutuskan untuk merantau. Ke Bandung 1997-2007, lantas ke Johor 2007 hingga sekarang.

Dan inilah lebaran ketujuh kami di negeri Jiran. Tak pulang kampung seperti anjuran lagu-lagu raya yang gegap gempita dialunkan di mal-mal di negeri ini. Tak bisa merayakan bersama orang tua dan saudara-saudara tersayang. Dan yang membuat airmata tak berhenti menetes adalah bahwa untuk ketujuh kalinya kami tak bisa memuliakan orangtua kami dengan berlebaran bersama beliau.

Astgahfirullah...

Hanya istighfar yang tak henti kami lantunkan atas kelemahan kami ini. Banyak hal yang menghalangi, termasuk pertimbangan cuti sekolah anak-anak yang teramat pendek untuk balik kampung.

Ya Allah...
Panjangkan umur kami hingga Ramadhan tahun depan dan berikanlah kami kesempatan untuk berlebaran bersama orangtua kami tahun depan dalam keadaan yang lebih berbahagia.

Ya Allah...
Ampunkanlah dosaku dan kabulkanlah doaku, aamiin...