Monday 16 September 2013

Maaf, Abang Minta Makan...

Setelah Sabtu ke Hutan Bandar Mutiara Rini untuk nemenin anak-anak bersepeda, Ahad sukan di sebelah tasik depan Klinik UTM, hari Senin Mama merencanakan mengajak anak-anak jalan lagi.

Sampai semua siap dan Ayah bertanya mau ke mana, Mama masih belum punya ide.

Setelah di dalam mobil, barulah Mama kepikiran soal keinginan Ayah membeli jam tangan. Biar tepat waktu, kata Ayah. Hohoho, selama ini ke mana saja, Pak? Memang, ya. Mulai menikah hingga 12 tahun pernikahan, Mama bahkan enggak pernah melihat tuh pergelangan Ayah menggunakan asesoris apa pun, termasuk si jam tangan.

"Kemarin kami lihat jam di Adidas, 358, Yah. Cakep, jamnya. Ya, kan, Bang?" celetuk Mama, masih berdiri di luar mobil sementara Ayah di belakang setir.

"Wah, mahal banget! Yang 100-an aja!" kata Ayah. Hmm, si Ayah ini emang suka sungkan sendiri kalau beli barang yang sedikit mahal. Tapi kalau membelikan kami, dia enggak pernah sungkan. *eits, harusnya bersyukur dong, Mbak Ar? hehehe

"Kalau seratusan mungkin nyarinya harus ke Angsana. Di sana ada, kali!" seru Mama sambil membuang seplastik sampah ke tempatnya.

"Enggak mau ke Angsana, ah!" teriak Zaki.

"Nanti aja kalau udah gajian belinya, Ma!" tambah Ayah.

"Ya udah, kalau gitu antar Mama beli JCo aja, ya. Mama keingeta donat greenteanya," pinta Mama. Semua pun setuju dan masuk ke dalam mobil.

Dengan panduan Sygic, perjalanan lancar jaya. Lewat depan hutan bandar lurus terus, belok kiri, kanan, lalu mengelilingi bundaran dan belok kanan lagi, sampailah kami di Aeon Bukit Indah. Wahhh, panas! 3x putaran ke parkir dalam hasilnya nihil. Akhirnya, dapat juga satu parkiran, setelah berebut dengan orang lain. Untung kita berada di posisi yang benar, jadi deh dapat, hahaha..

Sesampai di dalam, seperti biasa, rame banget. Puter-puter... liat laptop, minjem kereta untuk Farid, belanja sayur dan buah, dan tibalah saat untuk pulang. Tepat di foodcourt, Iq berhenti mendorong kereta Farid, :-)

"Ma... !" ucapnya sambil melirik ke foodcourt. "Dulu kita makan di situ, ya?"

"Apa?" tanya Ayah.

"Minta makan di situ, Yah," jawab Mama, menerjemahkan bahasa Iq dan Zaki.

"Ayuk!" ajak Ayah ringan.

Sementara Ayah membeli rujak, Mama dan anak-anak mencari tempat duduk. Alhamdulillah, dapat juga setelah dua kali muter, :-) *dari tadi muter melulu inti ceritanya.

Setelah sepiring nasi goreng pataya terhidang di depannya, Iq nyengir, "Ma... maaf, ya. Abang minta maem. Jadi malu."

Aih... sejak kapan Abang begitu? *mama geli dalam hati melihat wajahnya yang memang benar-benar malu

"Merepotkan Mama saja," lanjutnya.

Mama pengen pingsan rasanya, hihihihi

Bam, Mamam...

Mama ketiduran. Ngantuk sengantuk-ngantuknya membuat siang itu Mama tidur dengan pulas. Teriakan anak-anak dan tepukan kecil si bungsu tak berhasil membangunkannya.

Satu jam kemudian, Mama mulai membuka matanya yang masih terasa berat.

"Farid lagi apa?" tanya Mama dengan suara parau. Matanya membuka sedikit, tidak lebar seperti biasa.

"Mamam!" ucap si bungsu dengan senyum, sambil sesekali melompat menirukan Baby Bob-nya Barney.

"Eh, Abang suapin adik?" Mama melotot seketika, melihat sesuap nasi masuk ke mulut kecil putera ketiganya itu. Nasi kecap, seperti biasa. Kali ini tanpa lauk, :-(

"Hehe, iya. Tadi Farid manggil-manggil Abang dan nunjuk ke belakang. Abang kasih minum dia geleng-geleng. Dia terus bilang Bam, mamam!"

Mama duduk, memerhatikan mereka berdua dengan mata berkaca-kaca.

"Makasih, ya, Bang. Sudah suapin Adik," ucap Mama tulus.

Abang tersenyum dan mengangguk. Sementara Adik kembali asyik melihat Vroomies, :-)

***
Semoga selalu sholih, Bang, :-)

Monday 9 September 2013

Selamat Hari Lahir, Farid

Maaf terlambat memposting, Farid...
Seperti yang Mama tulis di hari lahir Mas Zaki, Mama pun ingin menulis cerita tentang kelahiranmu.

-----
Kamis, 28 Juli 2011
Mama, dengan diantar Bang Iq dan Mas Zaki periksa di Dokter Isa. Klinik Perdana, belakang Jusco. Ketika dicek, ternyata pintu rahim sudah tipis. Sudah siap untuk melahirkan. Karena menjelang puasa dan Sabtu Ahad libur, Mama dijadwalkan lahiran Selasa, 2 Agustus. Jam 7 pagi sudah harus datang ke klinik.

Selama lima hari Mama berjuang untuk menyelesaikan tilawah Mama. Sesuai janji Mama, anak ketiga, tiga kali khatam.

Alhamdulillah, Allah mudahkan.

Bahkan, Mama masih sempat puasa di hari pertama Ramadhan. Sempat tarawih dua malam. Malam 1 Ramadhan dan malam 2 Ramadhan. Alhamdulillah, :-)

***
Selasa pagi, 2 Agustus 2011/2 Ramadhan 1432
Jam tujuh pagi, Mama dan Ayah mengantar Abang dan Mas ke rumah Bu Bambang. Dititipkan, lengkap dengan uang sekian ringgit untuk jajan dan beli mainan, hmm. Waktu itu mereka pengen beli Ben10.

Mama diantar Ayah menuju klinik.

Begitu masuk, Ayah langsung dimintai bayar. Inilah bedanya klinik Indonesia dan Johor, :-P Kalau di Indonesia, Abang (di Rumah Sakit Lavalette) dan Mas (Rumah Sakit Al Islam), dibayar sama AsKes Swasta yang dijamin oleh kantor Mama. Kelas 1 dan full, tanpa kami menambahi. Di Klinik Perdana, bayar down payment RM 1000, hehehe.

Mama masuk ke ruang rawat. Dikasih baju ganti, diberi obat pembersih perut agar buang air besar terlebih dahulu. Setelah BAB, Mama pun dimasukkan ke Labor Room. Langsung disambut oleh jarum infus. Yup, Mama diinduksi karena memang tidak mulas sama sekali.

Ini juga bedanya dengan persalinan di Indonesia. Kalau di Indonesia ditunggu mulas kalau di sini, ditetapkan jadwalnya. Terlepas dari itu semua, tentu bukan Dr. Isa yang menetapkan kelahiranmu, ya, Nak. Tapi Allah telah menggariskan cara lahirmu memang seperti ini, :-)

Di cek tekanan darah, ternyata Mama tinggi juga. 144/95. Bidan senior yang biasa dipanggil Emak, sedikit khawatir. Saat ditanya, Mama pun bilang, selama hamil kurang tidur. Akhirnya, ketika infus dimasukkan, ditambahkan obat penahan sakit (jadi induksinya tidak berasa sakit sama sekali), dan ditambahkan obat tidur.

Mama flying. Antara sadar dan tidak, akhirnya bisa tidur.

Ketuban dipecahkan, Mama miring kiri dan pulas.

Ketuban ternyata sudah keruh karena Farid BAB di dalam. Setelah dibantu meluruskan kepala janin, Mama tidur lagi.

Pukul 12.20 *Mama sempat lihat jam*, Mama terbangun dan mulai mulas. Kian lama kian sakit. Hingga akhirnya tiba rasa melahirkan pada pukul 12.31.

Dr. Isa datang. Emak dan dua missi (panggilan untuk suster), bersiaga di depan Mama. Ayah membantu memegang tangan Mama, merasakan cubitan dan remasan kuat karena sakit yang sangat-sangat.

"Iya, pandai. Terus... terus!" begitu aba-aba Dokter.

Lalu, 12.36 lahirlah seorang bayi yang sangat besar. Laki-laki, kepalanya bulat dan badannya kekar. PB 55, BB 3.55kg, sehat sempurna.

Alhamdulillah.

Bahkan saat jalan lahir dijahit Mama sudah tidak merasa sakit.

Setelah bersih, Mama diantar ke ruang rawat dan pukul satu, Farid diserahkan ke Mama untuk disusui. Alhamdulillah.

Sore harinya, Abang dan Mas datang. Tersenyum melihat kehadiran adik baru yang comel. Senangnya mereka, punya tambahan tim, :-)

Dan dengan bantuan Mbah Halim, dinamailah si bayi:

Muhammad Yusron Farid
Semoga menjadi anak sholih yang selalu dimudahkan dalam setiap langkah di jalan Allah, serta mendapat keutamaan dalam setiap urusan, aamiin.

Bdw, namanya sempat mau ditambahi Ramadhan. Tapi takut terlalu panjang. Dan sempat juga ada pilihan, Burhanuddin Farid atau Muhammaf Miftah Farid, :-)

Abang dan Mas lebih memilih Muhammad Yusron Farid, :-)

Selamat hari lahir, Nak. Semoga Allah mudahkanmu untuk menjadi anak sholih, aamiin. Peluk sayang dari Mama, Ayah, Abang Iq dan Mas Zaki.

Luv U,
<3

Selamat Hari Lahir, Zaki Hannan

Hari ini, 10 September, tujuh tahun lalu. Mama sedang berjuang melahirkanmu, Nak. Ayah sedang pelatihan outbound di Malang. Tapi ada Mbah Halim, Mbah Uti dan Yang Mi yang menemani Mama di Bandung. Sayang, dengarlah cerita Mama hari ini, :-)

--------

8 September 2006
Mbah Halim, Mbah Uti dan Yang Mi datang ke Bandung. Tampak binar bahagia di wajah mereka saat menceritakan pengalaman di kereta api Surabaya-Bandung. Sementara Ayah sedang mengikuti pelatihan outbound di UIN, tempat kerja Ayah yang baru.

Oh iya, Zak. Ayah diterima kerja di UIN Juni lalu. Setelah wisuda master di UTM Aprilnya. Alhamdulillah, lancar.

Dan selama Mbah di Bandung, hati Mama pun makin tenteram. Ada teman, tak seperti biasanya hanya bersama Abang dan Ibu Enda.

Selain bercengkerama dengan Mbah, Mama juga terus berusaha untuk menyelesaikan tilawah Mama. Janji Mama, khatam dua kali untuk anak kedua.

***
9 September 2006
Mama pikir kamu lahir hari ini, Nak. Seperti tanggal lahir Ayahmu. Rupanya, sampai siang tak ada tanda-tanda itu. Satu juz lagi, Mama habiskan selepas Dzuhur dan Ashar. Setelah melantunkan doa khatam Al Qur'an, Mama melipat mukena dan ke kamar mandi untuk buang air kecil.

Dan Mama terkesiap ketika melihat ada tanda-tanda persalinan. Mama pun keluar kamar mandi dan menghampiri Mbah Uti dan Yang Mi yang sedang di ruang tengah.

"Bu, Mami... ada darah!" ujar Mama dengan hati berdebar.

"Loh, itu tandanya. Ayo, cepet siap-siap ke rumah sakit. Sudah mules?" tanya Yang Mi.

Mama menggeleng.

"Ya udah, tunggu Bapakmu dulu. Nanti baru ke rumah sakit," ujar Mbah Uti.

Mbah Halim sedang ke Masjid. Biasanya selepas Isya baru datang. Nerus, dari sebelum Maghrib. Cara itu beliau gunakan untuk menghilangkan cemas dan suntuk, :-)

"Semoga Bapakmu cepet pulang. Kalau enggak, kalian pergi aja dulu. Nanti Mami suruh Bapakmu nyusul," ujar Yang Mi.

Mama menurut. Mama pun bersiap. Merapikan tas bawaan, baju-bajumu, peralatan mandi, baju Mama dan perlengkapan persalinan lainnya. Tak lupa, Mama menelepon taksi. Tepat saat taksi datang, Mbah Halim datang dari ujung gang. Berjalan sedikit tergesa melihat ada taksi di depan rumah.

"Yok opo? Wis wayahe, a?" tanya Mbah.

"Iya, Pak. Sudah waktunya," jawab Mama.

"Yo, wis! Ayo dibudhalno!" seru Mbah Halim sumringah. "Alhamdulillah, doaku diijabah. Barusan aku berdoa semoga anaknya Ar lekas lahir, lha kok langsung dikasih tanda."

Pamit pada Yang Mie, kami berangkat bertiga. Abang Iq? Di rumah sama Yang Mie. Untung mau, ya. Sudah biasa Mama tinggal kerja dan menginap mungkin, hehehe.

Sesampai di rumah sakit, langsung ke ruang observasi. Di cek baru bukaan dua. "Insya Allah jam sepuluh lahir," kata Bidan senior.

Mama dan Mbah Uti saling berpandangan lalu tersenyum.

"Mau sama kayak jam lahirmu, paling, Nduk," kata Mbah Uti. Iya benar, Mama memang lahir jam sepuluh malam, :-)

Karena waktu masih lama dan pulsa habis, Mama minta ijin untuk ke warnet.

"Silakan. Malah bagus. Biar cepat nambah bukaannya," ujar Bidannya.

Dengan berbaju pasien, Mama diantar Mbah Uti berjalan menuju Metro. Pusat perbelanjaan di sebelah Rumah Sakit Al Islam, Bandung. Masih tertawa-tawa, dong, karena memang Mama tidak merasakan mulas sama sekali.

Mama telepon Ayah. Minta doa semoga persalinan kali ini lancar. Di seberang sana, suara Ayah bergetar. Ada khawatir terselip. Ayah pun minta maaf karena tidak bisa mendampingi Mama.

Setelah selesai telepon, kami kembali ke ruang observasi. Mbah Halim tampak serius menonton televisi. Ada pertandingan tinju dunia. Ah, Mbah.hihihi. Meski begitu, beberapa kali beliau tanya, apa perasaan Mama. Bagaimana rasanya? Sudah dekat apa belum?

Ketika sampai di ruangan, Mama tiduran. Mbah Uti mengusap-usap punggung Mama lembut, memberi kekuatan. Tak terasa, kami tidur berdua. Hingga pukul dua pagi, sama sekali tak ada rasa mulas. Malah Mama tertidur kembali sampai esok paginya, hehehe.

***
10 September 2006
Pukul 04.30 bidan kembali memeriksa. Bukaan masih tetap, belum bertambah. Akhirnya diputuskan didrip alias diinduksi. Menurut Tante Dewi yang pernah merasakan diinduksi saat melahirkan Daffa, induksi itu sakitnya minta ampun. Enggak ada berhenti-berhentinya kayak lahiran normal. Antara takut dan tidak, Mama hanya meringis saat jarum infus menembus punggung tangan Mama.

Ketika infus mulai bekerja, barulah ada rasa mulas.

"Sakit, Bu," keluh Mama pada Mbah Uti.

"Sabar, insya Allah hilang kalau bayinya sudah lahir," sahut Mbah Uti menenangkan.

"Memang ini yang ditunggu, kan?" ujar Bidan dengan senyum lebar.

Sejam kemudian, dicek, bukaan masih dua setengah. Bidan kembali ke ruangannya. Memeriksa pasien lain. Mama yang capek tiduran, jalan-jalan sambil menenteng tiang infus. Menemui Mbah Halim di luar ruangan yang tampak kian cemas.

Jam tujuh pagi, Bidan mengecek lagi.

"Masih dua setengah, tapi sudah tipis," ujarnya. Lalu beliau memutar selang infus, mempercepat turunnya cairan. Sakitnya kian bertambah parah. Karena tak tahan, Mama memutar balik selangnya. Memperlambat tetesan infus dan rasa sakit pun berkurang. Ketika Bidan Senior datang dan melihat tetasan yang melambat, Bidan pun menegur suster.

Hihihi, padahal kan Mama yang bikin ulah, seru dalam hati. Jail, ya? Mungkin ini yang menyebabkan kamu juga jail ya, Nak... hehehehe.

Menjelang pukul sembilan, sakitnya sudah tak tertahan. Mama berulang kali menyebut Asma Allah, beristighfar dan meminta kekuatan. Hingga Mama sempat tak sadar. Tahu-tahu sudah ada di ruang bersalin karena Mama merasa bayi Mama sudah mau lahir.

"Tunggu, Dokter belum datang. Tahan dulu, ya, Mbak. Tarik napas, keluarkan perlahan," titah Bidan Senior.

Mama mengikuti tapi tak tahan lagi. Hingga akhirnya Mama mengedan dan merasa Dokter Lina sudah ada di bawah Mama.

"Tunggu, ya, Dok. Saya istirahat dulu," seru Mama sambil menarik napas.

"Iya, silakan," ujar Dokter Lina sambil tersenyum.

"Sekarang mengedan, ya, Dok?" tanya Mama dan bersiap ambil napas.

"Eh, mau apa?"

"Ya mau mengeluarkan bayinya, lah, Dok. Kok mau apa?" Mama emosi.

"Loh, ini bayinya sudah lahir. Nih, sudah di luar. Cowok, cakep," kata dokter lagi.

Antara percaya dan tidak, Mama tertawa. Ah, mudah sekali lahirnya? Enggak seperti Abangnya dulu, hehehe.

Mbah Uti setia di samping Mama, melihat Mama dibersihkan. Setelah bayinya dibersihkan, langsung diberikan ke Mbah Halim untuk diadzankan.

Seperti biasa, Mama cerewet bertanya ini itu soal bayi Mama. Sehatkah? Normalkah? Sempurnakah? Semua tambak sibuk, membereskan ini itu.

Tak berapa lama, Mama didorong ke ruang rawat oleh suster. Seingat Mama, Mbah Halim yang mendampingi. Mungkin Mbah Uti masih melihat adik bayinya, ya, :-)

Dan Mama tertidur. Mama dengar Suster bilang ke Mbah Halim, "Biar istirahat, Pak. Pasti capek."

Sorenya, sudah ada Mbah Uti dan Mbah Halim di samping Mama. Juga ada Yang Mi dan Abang, yang katanya sudah sempat melihat adik bayinya.

"Abang udah minta maaf karena waktu itu nendang perut Mama," ungkap Abang lembut. Aih, si Abang memang lembut hati, <3

Dan tiga hari Mama di rumah sakit. Saat pertemuan pertama kita, Mama sempat bingung menentukanmu di ruang bayi, Nak. Tebakan Mama salah, dan yang benar ternyata Mbah Uti. Sore itu, pertama kali Mama nenenin kamu. Lucu sekali. Bulat wajahmu dan merah kulitmu.

Di hari ketujuh, kami mengadakan aqiqah.

Saat itulah dirangkai namamu, oleh Mbah Halim.

Zaki Hannan Maulana Karim.
Semoga menjadi putera yang sholih, Nak. Yang bersih hati, pemurah, dan dinaikkan derajatmu menjadi manusia yang mulia, aamiin.

Peluk erat dari Mama, Ayah, Abang Iq dan Adik Farid.
Luv U, Zak.

Sunday 8 September 2013

Tinggal Injak Gas dan Rem!

Lagi ramai kasus kecelakaan yang melibatkan bocah 13 tahun, saya jadi teringat kejadian beberapa bulan kemarin.

Pagi itu, seperti biasa Thariq (11 tahun) mendapat tugas untuk 'manasin' mobil. Sejak mobil kami ganti matic, perlakuannya berbeda dengan mobil sebelumnya yang manual. Jika dulu, sekali nyalakan langsung bisa dipakai ngebut, sekarang tidak lagi. Mesin mobil harus dipanaskan minimal 2 menit supaya bisa berjalan dengan optimal. Dan untuk urusan ini, cukup membuat Mama repot. Karena harus keluar rumah, ganti kostum dan memerlukan waktu yang lumayan. Terutama jika sedang sibuk-sibuknya ngurus persiapan kue dan anak sekolah.

Alhasil, Thariq pun diajari untuk bisa melakukannya.

Dan rupanya tak sulit mengajarkan hal ini. Mama hanya mengingatkan supaya selalu mengecek persneling selalu dalam posisi 'P' sebelum memasukkan kunci kontak. Sekali putar, mobil pun menyala.

"Tak boleh sentuh apa pun, Bang!" Saya memberi peringatan setiap kali. Anggukannya pun cukup membuat saya puas.

Hingga hari itu, saat saya sudah memasukkan wadah-wadah kue pesanan ke mobil, Thariq tampak memegang tuas persneling. Saya pun panik bukan main.

"Abang cuma mau mundurkan, Ma. Biar siap di luar rumah. Kaki Abang dah sampai ke gas dan rem, kok! Tinggal injak gas dan rem kalau perlu," ucapnya menenangkan saya.

Tanpa sadar saya langsung membentaknya, "Stop, Thariq. Keluar...keluar!"
Seru saya dengan jantung berdebar.

Untunglah Thariq menurut, keluar mobil meski dengan bibir cemberut.

"Kenapa Thariq bisa berpikir begitu? Menyetir kendaraan itu tidak semudah yang Thariq bayangkan. Meski kaki Thariq sudah cukup menginjak pedal gas dan rem, tapi emosi Thariq belum mampu!" omel saya masih deg-degan.

Thariq diam.

"Nyetir itu bukan hanya soal kaki cukup apa enggak cukup, Bang. Banyak hal yang harus dipenuhi. Itulah sebabnya ada batas umurnya. Sekarang kamu jadi penumpang yang baik aja, nanti kalau sudah 17 tahun baru boleh belajar nyetir," lanjut saya.

Thariq diam. Mengangguk dan berjanji tidak akan mengulangi kejadian tadi.
Mungkin saya termasuk orang yang kolot, tapi saya menentang sikap orangtua yang membolehkan anak-anak di bawah umur mengendarai motor atau mobil. Mereka hanya bisa menjalankan kendaraan itu, bukan mengendalikannya.

Allah, lindungilah kami dan anak cucu kami dari perbuatan dzolim dan sia-sia, aamiin.

Friday 6 September 2013

Farid Membaik

Alhamdulillah... semua atas kemurahan Allah.

Malam ini, Farid dah enggak muntah lagi. Tidur nyenyak dia. Masya Allah, manis sekali. Barakallahu, Nak,

Tadi, kira-kira jam setengah sebelas, kami ke dokter. Farid baru bangun dari tidur, langsung kugendong dan masukkan mobil. Di dokter, dapat giliran no. 37. Hmm, lama lagi, baru nomor 9 yang dipanggil. Setelah menunggu sampai nomor 10, Farid mulai gelisah. Aku pun memutuskan untuk mengajaknya pulang.

Baru sampai di samping gelas besar, gerimis merapat. Farid muntah. Banyak, seukuran minum air putihnya tadi. Mengenai kerudung dan tasku. Setelah kuusap sisa muntah di mulut dan kakinya, kami pulang.

Sesampai di rumah, ia minta minum lagi. Selain kuberi minum *dua kali ia minta*, ia pun minta makan. Kusuapi, dapat 5 suap. Alhamdulillah.

Lalu lihat Poli Robocar hingga menjelang pukul 12. Tepat pukul 12, kami pergi. Rencanaku, menjemput Iq lalu beli tiket parkir. Setelah itu, menjemput Zaki dengan jalan kaki. Karena sudah lama kutinggalkan, kuminta Iq melihat giliran yang dipanggil. Rupanya sudah nomor 34. Hmm, akhirnya kuparkir mobil dan kugunakan tiket parkir sebelumnya dengan menambal sulam angkanya. Terpaksa. Tak mungkin ke Rainbow karena sudah hampir 37.

Setelah urusan tiket parkir beres, kami jemput Zaki dulu. Alhamdulillah lancar. Saat kami sudah duduk di bangku menunggu giliran, ternyata malah no. 23 yang dipanggil.

Lalu 36.

Dan 37.

Dokter Siti Fatimah menyambut ramah. "Cuaca nih tak bagus, so sakitlah anak dokter, nie, ya!" serunya dengan senyum.

Diperiksa. Dada, ok. Tak ada masalah. Perut, sepertinya ada angin yang tersangkut. Tekaknya rupanya sedang bengkak dan merah. Diputuskan untuk dinebulasi satu kali, lalu dicek apakah suhu tubuh Farid makin naik atau tidak.

Dinebulasi.

Periksa lagi. Alhamdulillah, lendir dah cair. Pernapasan oke, perut oke. Diberi obat sakit tekak/lendir, muntah/angin dan demam.

Sampai di rumah, diminumlah si obat muntah. Sambil nunggu makan, Farid minta minum lagi. Eh, muntah buanyak. Allah... lemes nian anakku.

Lalu suara Ibu terngiang-ngiang, "kasih minumnya dikit-dikit aja!"

Akhirnya kukasih minum air putih lewat pipet. Dan sejak jam 4 tadi, aman terkendali.

Sehat terus ya, Nak... besok ikut liqo ke ammah Jannah, :-)

Thursday 5 September 2013

Farid Lemes, Hiks...

Tadi pagi, jam 4, Farid muntah. Kupikir, ia kedinginan karena tak pakai selimut sementara AC menyala. Kuselimuti, tak mau. Kutukar bajunya dengan yang lebih hangat, dobel pula. Dia dah mulai senyum-senyum.

Eh, muntah lagi. Kali ini lebih banyak. Sprei pun sampai basah. Sementara Ayah mengganti sprei, kuganti bajunya dan kubalur minyak kayu putih. Masih kurangkap dengan jaket. Alhamdulillah, senyum dia. Nenen dan tertidur dengan pulas.

Pagi, dia bangun lambat. Jam setengah delapan, minta nenen. Pas kuganti, ternyata celananya basah. Oups! Aku lupa kalau tadi belum sempat diberi diapers. *tepok jidat

Akhirnya, kubawa ke kamar mandi. Kubersihkan, tapi tak kumandikan. Setelah diganti baju bersih, ia pun minta minum. Sementara aku bersih-bersih rumah, ia minta disetelkan poli robocar. Rupanya ia muntah lagi, hiks.

Setelah kulap dengan tissue basah dan kuganti, kusetelkan poli di handphone dan kubaringkan ia di kasur.

Aman. Aku bisa nyapu dan beberes sampai tuntas. Setelah selesai, baru ia merengek minta nenen.

Rencananya sebentar lagi kuajak ia ke dokter Siti Fatimah. Semoga lekas sembuh ya, Nak. Mungkin karena semalam makan mie terlalu banyak yaa... Biasanya kan nyicip-nyicip aja. Besok-besok enggak boleh lagi, ya.

Biasanya Mama memang melarang mie dimakan di rumah ini. Tapi Mama pikir, sesekali tak apalah. Eh, Farid yang kena.

Syafakallahu Farid Cinta, <3

Wednesday 4 September 2013

Farid dan Bisikan

Melihat masa kecil Farid, jadi ingat kecilnya Thariq. Tapi jika dulu Thariq hanya berbisik saat bilang, "Ika" yang maksudnya adalah ikan, Farid beda lagi.

Suka banget berbisik-bisik.

Seperti tadi. Waktu melewati kuda, dia bilang, "Ma... Ma! Aum!" ujarnya sambil berisik dan menutupkan telapak tangannya di mulut. Uhhh, gemesnya!

Kami pun berhenti sebentar. Cute-nya dia, memanggil kuda pun dengan suara lembut, "Hai!"

Ihhhh, makin gemes!

Dan, yang seringkali ia lakukan adalah membisikkan Ayah tentang keberadaan Mama atau sebaliknya. Jika ia bersama Mama, ia akan berbisik, "Ma, Ayah!" sambil menunjuk Ayahnya. Pun sebaliknya.

Ah, Nak... semoga selalu sehat yaa... aamiin.

"Pa, Ma?"

Yup! Itulah kalimat yang sering disebutkan Farid jika Mama baru bertemu atau berbicara melalui telepon dengan seseorang.

"Siapa, Ma?" maksudnya begitu, tapi karena ngomongnya masih terbatas, yang terucap hanya belakangnya saja.

Seperti tadi, sepulang Mama dan Farid mengantar kue pesanan ke Bu Renny di U3, di jalan kami bertemu dengan Bu Ika. Setelah salim dan diberi cokelat TOP, Farid pun bertanya, "Pa, Ma?"

Mama pun menjelaskan. Itu adalah Mamanya Bang Zaka, kawan Abang.

"Ayah?"

"Bukan kawan Ayah, tapi kawan Abang," jawab Mama dengan senyum.

Tak lama, kami berjumpa dengan Bu Agus. Kejadiannya pun hampir sama. Dan Mama menjelaskan bahwa itu Bu Agus, kawan Mama. Suaminya, kawan Ayah. Anaknya, kawan Abang.

Setelah selesai mengantar sedikit risoles untuk Bu Rini, dia pun bertanya.

Mama bilang, "Itu Oom Deris, suami bu Rini."

Hehehe, semoga makin shalih dan pintar ya Nak.

Aamiin...

Tuesday 3 September 2013

Thariq dan Cream Puff

Seminggu kemarin, Thariq datang dengan memberi sebuah kabar. Ia akan berjualan cream puff. Teman-temannya sudah memesan, katanya. Dan Mama diminta membuat 60 pcs cream puff.

Usut punya usut, ternyata Iq sudah membuat selebaran. Semacam promo atau iklan, begitulah. Di dalamnya ada tulisan:

BELILAH, CREAM PUFF PALING SEDAP!
HARGA BIASA SATU KETUL 50 SEN. HARGA PROMO SERINGGIT DAPAT 4.

JANGAN LEWATKAN KESEMPATAN INI!

Mama terbelalak sedikit kaget membacanya. Ahh, Mama aja enggak pernah promo seperti itu, eh, dia pe-de banget! Masya Allah, terharu jadinya.

Karena semangat itulah, meski badan Mama pegel-pegel, Mama bela-belain buat cream puff untuk dibawa pagi harinya. Agak kesiangan bangun, sih. Jam setengah lima baru bangun, hiks. Tapi Alhamdulillah lancar.

Tepat pukul tujuh, 46 pcs cream puff sudah tersedia dalam wadah kedap udara. Iq menentengnya dalam plastik.

Melihatnya berjalan menuju sekolah dengan tas punggung berat dan tentengan segitu banyak, hati Mama terenyuh. Doa pun mengalir, semoga ia menjadi seorang anak yang tangguh dan sukses, aamiin.

Siang harinya, cerita seru mengalir.

"Ma, kedai Abang paling cepat habis. Semua berkumpul di kedai Abang. Sayang, Abang lupa bawa beg plastik. Jadi semua orang makan di tempat, hahahaha. Ada yang tak dapat cream puff dan pesan lagi, Ma. Esok buat lagi, ya! Oh iya, kata teman-teman cream puff emak Thariq paling sedap. Fitria bahkan bilang ke Ustadz. Minta Ustadz mencoba makan cream puff yang dia beli. Kawan-kawan minta esok bawa lagi, Ma. Kalau tak, siap Abang, hahaha!"

Ahhh, senangnya.

Barakallahu, Iq!

Zaki dan Celotehnya

Meskipun sudah hampir tujuh tahun, Zaki tetap lucu. Komentar dan celetukannya seringkali mengundang tawa. Seperti waktu kami dalam perjalanan menuju bandar beberapa minggu lalu.

Saat melewati fly over menuju Singapura, Zaki komentar.

"Singapura. Singanya pura-pura, enggak beneran, ya, Bang?"

Sontak kami tertawa.

Sayangnya, Zaki masih belum berhasil mengatasi moodnya yang terkadang memburuk. Sering marah, teriak-teriak dan menangis.

Semoga dimudahkan menjadi orang yang sabar ya Zak... sehat selalu dan pintar, aamiin.

Encik Farid

Siapa sangka, Farid (2 tahun 1 bulan), sangat menyukai baju melayu. Setiap habis mandi dan dia mendapat kesempatan mengambil baju sendiri, jika si cekak musang ungu ada di jajaran baju-baju, ia akan mengambilnya sambil nyengir, :-)

Meski udara sedang panas, ia betah berbaju melayu. Kalau sudah begitu, pastilah kami berempat gemas melihat tingkahnya, :-D

Baju ini kami beli setengah tahun lalu saat pesta konvo. Waktu itu, kami mengira ukurannya pas. Ternyata, masih kebesaran. Mama harus mengelim tangan dan kakinya agar tak terlalu kedodoran, hehe.

Dan kini, ia punya panggilan baru: Encik Farid.