Tuesday 22 October 2013

Bam... Bik...

Jika sebelumnya Farid terkesan tak mau memanggil Zaki dan menggantinya dengan entu atau eni saat menunjuk Zaki, sudah tiga hari ini Farid mengubah panggilannya.

"Bik! Ayo!"

"Whuaaahahahaha... kok Farid manggil Zaki Bik, Ma? Dikira Bibik dia, paling," teriak Iq sore itu.

Kami pun tertawa. Sebab Bibik itu sama artinya dengan pembantu, hihihi... Tapi melihat wajah Zaki yang sedih, Mama pun langsung berhenti tertawa, dan, "Farid belum bisa bilang Mas atau Zaki. Jadi bilangnya Bik, mungkin maksudnya Ki kali... kayak kalau Ayah manggil Zaki, :-)

Zaki pun tersenyum...

Dan sejak bisa manggil, Farid terlihat lebih akrab dengan Masnya. Alhamdulillah, :-)

Psst, Ma...! Orang itu Malu Teruuuss...

Siang ini Mama, Farid dan Zak ke Aeon TU untuk beli terigu dan kawan-kawannya. Saat tiba di lorong yang menjual mainan, tiba-tiba Zak berbisik.

"Psst, Ma. Tengok! Dari tadi orang itu malu terus, ga berhenti-berhenti," ujarnya dengan wajah serius.

"Malu? Darimana Zaki tahu?" tanya Mama heran.

"Itu pipinya merah terus," lanjutnya, masih dengan wajah super serius.

Wkwkwkwkwkw... Mama ngakak, dong! Bagaimana tidak, orang Mbaknya pake blush on. Hihihihi... sampai toko tutup juga akan tetep merah pipinya, Zaaakkk... :-P

Wednesday 16 October 2013

Hari yang Produktif?!?

Catatan Mama

Tengah malam (15 Oktober), saat semua terlelap dan tinggal kami berdua, aku menyempatkan diri mengecek naskah novel yang sedang kugarap setengah tahun ke belakang.


Tak seperti biasanya, di mana banyak pertanyaan dari word sebelum masuk ke file, malam ini lancar jaya. 


"Ohh, sudah dibetulkan si ayah sepertinya," benakku.

Tapi betapa terkejutnya aku ketika file terbuka sempurna. Sinopsis gobal masih satu halaman lebih sedikit dan belum diedit pula! Daftar isi masih berantakan. Aku panik. Bagaimana mungkin semua itu terjadi sementara aku selalu rajin menekan ctrl+s secara berkala. 


Kucoba mencari di foldernya, tak juga berjumpa. Akhirnya aku pasrah. Perlahan kuperbaiki Prolog hingga setengah jalan. Karena ngantuk, aku pun tidur.

Paginya (16 Oktober), aku langsung buka dan kerjakan lagi. Prolog selesai dengan sukses, meski mungkin ga sama dengan sebelumnya. Lalu perlahan kubuat sinopsis global. Baru setengah jalan, cerpenku di kelas onlinenya Mas Bambang Irwanto diupload. Catatan beliau membuatku tergelitik untuk segera merevisinya. 

Akhirnya kutinggalkan calon novel dan kurevisi cernakku. Alhamdulillah, menjelang dzuhur sudah tuntas dan langsung kukirim ke Bobo. Hmmmm, pengen juga diterima di majalah kesayanganku semasa kecil itu, :-)

Setelah itu, aku balik ke sinopsis global. Alhamdulillah, jelang Ashar dah selesai. Ngebut kuperbaiki daftar isi, 'menghitamkan kembali' kalimat asing yang sempat kutinta merah, menambahkan beberapa kalimat di beberapa bagian termasuk saat kutemukan catatan tentang Akta Kuarantin 1076 Malaysia soal pelarangan buah mangga masuk tanpa prosedur impor, akhirnya finish sudah. 

Lepas Ashar, kukirim ke Mbak Deesis dan tinggal menunggu kabar baiknya, insya Allah, aamiin...

Dua naskah terkirim dalam satu hari.
Kupikir, ini hari menulisku yang paling produktif. Benarkah? Oh, tunggu dulu... lihat, seterikaan numpuk dan cucian belum dijemur.






Untung sudah masak. Malam-malam, karena tak tega melihat anak-anak dan cucian aku akhirnya mengangkat jemuran lalu bikin puding roti dan pizza. Itung-itung sebagai ganti waktu yang sudah tersita kemarin yaa...
Sekarang, mau masak-masak dulu ahhh. Lalu seterika, lalu jemur baju, baru kemudian menulis lagi. Kali ini, insya Allah menyelesaikan naskah novel yang sempat tertunda. :-)
 

Tuesday 1 October 2013

Nasi Goreng Ayah is The Best

Seminggu ini, menu masakan favorit di rumah kami adalah nasi goreng buatan Ayah. Rasanya sangat istimewa. Gurih, sedikit pedas, lengkap dengan ikan bilis dan telor serta pas di lidah.

"Kok bisa, sih, Ayah bikin nasi goreng, Ma?"

"Enak, ya?"

"Iya. Best! Macam nasi goreng di kedai-kedai, tapi ini lebih sedap!" puji Thariq dan Zaki.

Hmmm... Ayah bisa melayang nih, kalau dengar pujian anak-anaknya seperti itu hehehe.

Sebenarnya, jika nasi goreng ayah terkenal di rumah ini bukan karena Ayah memang pandai dan suka masak. Tapi karena terpaksa. WHAT?!

Ya, dooong..
Ceritanya, malam itu, Ayah kelaparan. Di bawah tudung saji, kosong, tak ada satu makanan pun kecuali sepanci nasi. Mama sedang mengetik di kamar.

"Ma, gorengin nasi, dong," pinta Ayah yang muncul di depan pintu kamar, dengan wajah melas.

"Haduuuhhh... seharian Mama ngider ke mana-mana, capek, lah Yah. Ayah goreng telor aja, biar Thariq yang buatkan," jawab Mama dengan wajah tak kalah melas. (catatan: tidak untuk ditiru oleh seorang istri sholihah, :-P)

Tanpa komentar, Ayah balik ke dapur.

Dua puluh menit kemudian, Ayah datang lagi dengan sepiring besar nasi goreng.

"A! Nih, dah mateng nasinya," ujar Ayah dengan tangan siap menyuapi sesendok nasi goreng untuk Mama.

"Ihhh, kenyang. Ayah makan aja sendiri," tukas Mama sewot. --> akibat kelelahan, jadi pemarah :-)

"Abang mau?" tanya Ayah ke Thariq, yang langsung disambut dengan teriakan senang.

Malam itu, Thariq bilang bahwa nasi goreng Ayah sedap. Tapi belum ada yang tertarik.

Esoknya, kejadiannya sudah berbeda.
Sudah ada bothok tahu ikan bilis di bawah tudung saji, lengkap dengan sayur. Sambelnya Mama masih belum bikin. Sedikit malas karena seminggu sebelumnya masak sambal setiap hari.

Malam-malam bothok kurang seru, lah. Akhirnya Ayah bikin nasi goreng lagi.
Mama nyicip, dan memang sedap. Tapi karena tak terlalu lapar, Mama enggak makan lagi.

Dua hari kemudian, sore sepulang kantor Ayah masak nasi goreng lagi. Padahal sudah ada semur daging dan Ayah serta anak-anak sudah makan, tapi sepertinya masih pengen nasi goreng.

Seperti biasa, tanpa banyak kata Ayah uthek di dapur. Membuat nasi goreng untuk kami.

"Yang banyak, Yah. Mama mau!" teriak Mama dari ruang tamu.

Mama sedang menyuapi Farid dan menemani Zaki yang sedang makan.

Tak lama, Ayah datang dengan dua piring nasi di tangan. Satu untuk Mama dan satu lagi untuk Ayah sendiri. Whoaaa... enak banget! Bahkan Farid pun mau meski sedikit kepedesan.

Thariq habis dua piring, as usual.

Zaki nyicip dikit karena sudah makan semur daging sebelumnya.

Dan kemarin, karena siangnya kami makan di Singgah Selalu, sore tak ada masakan apa pun kecuali sepanci nasi putih.

"Ayaaahhh, bikinin nasi goreng, dong!" teriak Mama dan Iq bergantian. -->tanda-tanda ketagihan

Ayah sedang booking tiket untuk ke Bandung dan bilang, "tunggu."

Sampai dua jam berikutnya, nasi goreng belum mateng juga.

"Ayaahh, laperlah. Buatin nasi goreng, lapeeerrr," pinta Thariq.

"Iyalah, Yah. Mama bikin pesenan untuk Bang Rafi. Bentar lagi mau nenenin Farid. Laper, nih!"

"Alaahhh, kenapalah Ayah sekarang jadi tukang nasi goreng?" jawab Ayah sambil mengupas bawang merah dan bumbu-bumbu.

"Hahaha, salah sendiri. Bikin nasi goreng sedap-sedap," seru kami kompak.

Dan kami pun makan nasi goreng dengan lahap. Mmmmhhh, memang sedap. Masih sisa sepiring, Mama angetin, siap untuk sarapan.

Makasih, Yaaahhh...
Masak terus sampai kami bosan, yaaa... :-P