Thursday 20 February 2014

Pelajaran Hidup untukmu, Nak...

19 Februari

Menuju tengah malam. Tapi rumah kami masih sibuk. Ayah melanjutkan proposal projectnya, Abang mengerjakan PRnya sementara Mama sibuk di dapur. Tiga ratus buah sus harus diselesaikan malam ini. Sisanya besok masih bisa karena yang seratus dikirim tengah hari.

Sebelum tidur, Abang sibuk mau seterika. Di kasur Zaki pula. Jadilah mereka berdua berantem. Mama pun turut campur.

"Udah, besok Mama seterikakan, Bang. Abang tidur dulu," ujar Mama.

Sus selesai sebelum pukul dua belas dan Mama pun tidur.

Terbangun pukul setengah enam, Mama langsung beres-beres. Menyiapkan ini dan itu, mengoven sisa adonan yang tinggal sekali angkatan. Setelah itu, Mama pun seterika.

Dalam hitungan menit, baju melayu teluk belanga itu sudah rapi. Mama melipatnya, lalu membungkusnya dengan koran. Jam tujuh kurang, Abang baru mau bangun. Mencari baju dan dengan nada tinggi menanyakan mengapa bajunya tidak digantung.

Mengalah, Mama seterika ulang lalu menggantungnya. Lengkap dengan sampin hitam kesayangannya.

Mama sengaja menunggu sampai Abang selesai mandi, karena menurut Mama, kasihan jika Abang jalan kaki sambil membawa baju di hanger.

Setelah Mama di mobil, lengkap dengan kue yang siap dikirim, Mama tak melihat hanger ditangan Abang. Yang ada malah keresek merah dengan baju melayu di dalamnya.

"Nanti mungkin Abang punya hanger," ujarnya bersungut-sungut.

"Loh, gimana sih? Mama udah seterika balik kok malah diuwel-uwel begitu? Lecek, Iq!" teriak Mama shock. Mulai emosi. Mulai marah.

Iq diam. Tak berbicara. Hingga sampai depan sekolah, ia meminta Mama mengantarnya balik untuk mengambil hanger.

Lalu Mama dan Abang saling ngotot. Mama ngotot tidak mau karena kue sudah ditunggu, sementara Abang ngotot mau pulang balik ambil hanger.

"Ambil sendiri sana," putus Mama, yang kemudian segera disesali saat melihat sulungnya berjalan ke arah barat. Balik ke rumah.

Hampir... hampir saja Mama balik arah. Biarlah kue terlambat asal anaknya tidak jalan kaki bolak balik yang pasti akan membuatnya penat. Tapi ada bisikan hati lainnya. Mama harus membiarkannya agar si bujang mau belajar menghargai usaha orang lain. Terlebih usaha orang tuanya.

Maafkan Mama, ya, Nak...

Cerita belum berhenti sampai di sana. Siangnya, Abang telepon menggunakan HP Ustazah Nurul. Meminta Mama mencari surat di kocek celana forest dan menyerahkannya ke sekolah.

Setelah kerjaan Mama selesai, Mama pun mencari surat yang dimaksud. Ternyata tidak ada. Mama Sms Ustazah dan solusinya adalah Mama harus datang ke sekolah untuk menandatangani persetujuan keikutsertaan Iq di lomba nasyid.

Setelah mengirim kue dan menjemput Zaki, Mama pun ke sekolah Iq. Menemui Ustazah di surau dan mendapati Iq bersama kawan-kawannya.

Setelah urusan selesai, Mama, Zaki dan Farid pun pulang. Tadinya Mama mau ke kantor pos mengirim SPP BIP, tapi ditunda. Menunggu Iq pulang biar bisa sama-sama berangkatnya. Khawatir kalau Mama duluan nanti antri, kasihan Iq menunggu lama.

Jam 3 lebih sedikit, kami berangkat. Ke Rainbow dulu, beli gunting, lem dan amplop besar. Lalu bablas ke UTM. Mengantar Iq ke sekolah agama, lanjut ke kantor pos, terus mengambil uang di Mak Jah dan kak Annie. Karena besok ada pesanan risoles, Mama mampir Jusco. Beli ayam, seledri dan susu krimer.

Baru mau naik eskalator, Iq telepon minta dijemput. Karena ada pesanan risoles keesokan harinya, Mama pun terpaksa belanja ayam dan seledri dulu. Sementara mengantri bayar, telepon dari Thariq terus berdering... ditambah pula SMS dan telepon Ustazah Nurul, pembimbingnya, :-)

Dengan segera Mama menggendong Farid dan mengajak lari dua anaknya. Bayar parkir, terus bablas ke UTM jemput Thariq.

Di jalan menuju pulang, Thariq minta ganti baju dulu. Hmm, menguji kesabaran lagi. Ustazahnya bilang langsung berangkat saja enggak usah ganti baju, tapi rupanya Iq ga mau. Padahal di otak Mama sudah tersusun rapi: nganter Iq sekolah lanjut ke Mas'e beli telor, margarine dan susu kental manis.

Saking keselnya dengan kengototan Iq, Mama ngajak mereka semua ke Mas'e dulu. Belanja beberapa menit, baru pulang. Sesampai di rumah, rencana Mama untuk rebahan dulu karena ngantuk banget, gagal total. Cucian piring penuh, dapur kotor dan Mama pun mencuci piring. Rencana diubah, Mama harus bikin adonan sus baru tiduran.

Saat sedang mencuci piring, Iq menghampiri.
Berbisik-bisik, "Ma, maafkan kesalahan Iq hari ini." Wajahnya penuh penyesalan.

Mama langsung memeluk erat. "Iya, Mama enggak mau Thariq jadi anak yang tidak berterima kasih, yang tidak punya rasa kasihan sama orang tua."

Kami berpelukan.

Semoga akan terus terekam di benakmu, Nak...
Tentang cerita hari ini,
Tentang banyak pelajaran hidup yang mesti kau petiki...

Mama sayang Iq, tak akan pernah berubah rasa sayang ini. Sejak dokter menyatakan ada kamu di rahim Mama, hingga ujung nyawa Mama nanti...

Semoga Thariq, Zaki dan Farid jadi anak sholeh... aamiin.


No comments:

Post a Comment